Ngaben Bedulu

Ngaben Ibunda I Gusti Ngurah Oka, di laksanakan pada tgl 17 september 2011 bertempat di desa Bedulu yang di puput oleh Ida Pedanda Temon,
Pengabenan dilaksanakan secara masal, yang menggunakan lembu dan bade, bade di gunakan sebagai alat pengantar jenasah dari rumah menuju setra/kuburan bade dan wadah merupakan simbol dari sukuning (bagian bawah) dari Gunung Maliawan. Bade atau wadah memiliki fungsi sama sebagai sarana pemberangkatan jenazah ke setra dalam upacara pitra yadnya. Namun, secara fisik, kedua sarana itu sebetulnya memiliki perbedaan. Ditegaskan, jika menggunakan tumpang (atapnya bertingkat-red) disebut bade, sedangkan yang tidak bertumpang disebut wadah. Namun, wadah bisa disebut bade jika menggunakan palih bade seperti bacem, batur, taman, sari.
Selain berbentuk bade dan wadah, ada juga sarana pitra yadnya yang bisa disebut bade namun bentuknya sedikit berbeda, yakni balai pebasmian. Bentuknya seperti bangunan balai yang di dalamnya berisi bale kantil tempat jenazah, dilengkapi dengan pepalihan seperti boma bersayap, macam-macam kekarangan, kekitir, brapakat, dll. Jika dikaitkan dengan catur warna dalam konsep profesi golongan manusia di Bali, ada aturan khusus penggunaan bade. Misalnya, keturunan mana saja yang boleh menggunakan bade bertumpang solas (11), sanga (9), pitu (7), lima (5) dan seterusnya. Sesuai 'Warna'
Dalam lontar-lontar disebutkan penggunaan tumpang-tumpang itu sudah diatur sesuai dengan warna seseorang. Misalnya keturunan Dalem bisa menggunakan bade tumpang sebelas (11) lengkap dengan naga banda dan kelengkapan upakaranya.
 
Dikatakannya, dalam Babad Arya Kutawaringin disebutkan, para Arya bisa menggunakan bade tumpang pitu (7) yang berhiaskan simbar dari kertas mas berwarna-warni, magunung tajak, karang curing, hiasan boma, hiasan garuda marep mungkur --depan belakang.

Dalam prasasti Arya Gajahpara, Arya Getas boleh menggunakan bade Taman Agung, yakni bade yang berisi hiasan bunga-bungaan dan kekarangan. Selanjutnya, keturunan Arya Kloping bisa memakai bade tumpang pitu (7), mapadma patra, makakitir, magaruda mungkur. Selain itu, keturunan Dauh Baleagung pun bisa memakai bade tumpang pitu (7), sebab mereka juga keturunan Arya Kepakisan. Begitu pun keturunan Abasan bisa memakai bade tumpang pitu (7), berhiaskan boma bersayap.

Namun, dari sekian keturunan itu, keturunan Dalem Bangkalan (Bali Aga) yang lebih banyak memiliki pilihan. Sebab, selain bisa memakai bade tumpang sanga (9), mereka juga bisa menggunakan bade tumpang pitu (7) dan tumpang lima (5).

Sementara soroh Pematolan Pande Bang, khusus menggunakan bade berwarna putih dan lembu lembu warna putih pula. Namun, lembu yang digunakan tidak ada kepalanya.

Apa saja kelengkapan bade? Ada sekitar 20 kelengkapan bade yakni ringring, kakitir di tiap sudut tumpang, kapas atau mangle, magunung tajak (tiap sudut berisi hiasan gegunungan), magender wayang, boma makampid (bersayap), garuda mungkur, apit lawang, brekapat, masaka anda, palih bade -- bacem, batur, taman sari, atapnya bertumpang, kekendon, macam-macam kekarangan menurut tempat, tetamanan atau bunga-bungaan, pakis, ulon, bantala, badan dara dan gagodegan. Namun, dari sekian kelengkapan bade itu yang paling inti harus ada ringring, kakitir, kapas/mangle, atapnya bertumpang, masaka anda, boma makampid dan magunung tajak.

Dikatakan, dalam pembuatan bade, wadah dan kelengkapan lainnya mesti berpegangan pada lontar Dharma Laksana. Dalam lontar itu ada aturan dasar yang mesti dipakai seorang undagi bade. Artinya, dalam pembuatan itu tidak boleh hanya mengutamakan seni, tetapi harus sesuai dengan aturan. Misalnya, seseorang minta bade palih taman, mestinya seseorang tukang (undagi) mesti tahu apa itu palih taman. Jangan sampai karena kekurangtahuan justru yang dibuat palih gunung atau palih tanjak.
Yang disebut palih itu sebetulnya palinggih atau tempat suci. Dalam bade, lanjutnya, selain palih taman ada istilah palih sari, palih batur dan gunug gopel. Jika empat macam palih itu disatukan disebut palih macira atau petira (agung).

Lembu di gunakan sebagai  tempat membakar sawa/jenasah setelah sampai di kuburan. lembu bisa juga disebut petulangan.

Fungsi petulangan dalam upacara ngaben sangat erat kaitannya de-ngan kepercayaan nenek moyang terhadap binatang-binatang yang dianggap suci, keramat, memiliki kekuatan dan dijadikan lambang-lambang tertentu. Seperti Lembu yang terdapat diseluruh tanah air dipandang sebagai lambang kesuburan, sebagai penolak roh-roh jahat dan sebagai tunggangan roh le-luhur di akhirat 
Lembu dipercaya sebagai wahananya Dewa Siwa. Dewa Brahma dipandang sebagai dewa pencipta segala yang ada, wahananya binatang singa. Sedangkan Dewa Wisnu ber-fungsi sebagai pemelihara, wahananya naga. Binatang-binatang tersebut di-sucikan, dihormati, sebagaimana menghormati dewa-dewa dengan manifestasinya masing-masing. meninjau dari segi filosofinya bahwa perwujudan petu-langan dengan motif binatang, mengandung arti sebagai petunjuk jalan ke sorga bagi roh orang yang telah meninggal. Binatang nama lainnya sattwa terdiri dari kata sat dan twa. Sat berarti inti (esensiil); twa berarti sifat. Jadi sattwa berarti bersifat esensiil dalam agama ialah Sang Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa). Dengan menggunakan petulangan berbentuk binatang, mengandung maksud agar roh secepatnya menuju Siwa Loka (Ida Sang Hyang Widhi Wasa). Sedangkan binatang tersebut sebagai perwujudan petu-langan sesuai dengan keyakinan dan kepercayaan umat terhadap kesucian dari binatang tersebut.
Penggunaan petulangan dengan bentuk binatang ditentukan oleh sifat perwatakan serta kewajiban seseorang dalam masyarakat. Bentuk petulangan diatur menurut susunan kasta yang ada di Bali yaitu sebagai berikut: Bagi wangsa sudra jadma memakai petulangan ben-tuk gedarba atau bentuk macan, atau bentuk gajah mina. Sang Aria memakai petulanggan berbentuk menjangan. Sang Kesatria memakai petulangan ben-tuk singa. Brahmana Welaka memakai petulangan bentuk lembu hitam dan Pendeta memakai petulangan bentuk lembu putih. Dengan demikian fungsi petulangan adalah sebagai berikut.
  1. Dalam pengertian umum petulangan berfungsi sebagai tempat membakar jenasah dan secara spiritual, berfungsi sebagai pengantar roh ke alam roh (sorga atau neraka) sesuai dengan hasil perbuatan di dunia.
  2. Menunjukkan jenis sekte seseorang yang dianut leluhurnya.
  3. Menunjukkan watak dan kewajiban seseorang dalam masyarakat.
  4. Menunjukkan rasa bakti dan penghormatan terhadap dewa-dewa, karena dengan meniru wahananya sebagai sarana upacara. Maka seolah-olah lebih dekat dengan Ida Sang Hyang Widhi.
  5. Sebagai pernyataan rasa seni yang menimbulkan kepuasan batin bagi yang di-upacarai, orang yang menyelenggarakan upacara, seniman (sangging) yang mengerjakannya, dan masyarakat luas yang menikmatinya.